Selalu Kucari
(Oleh. Marianus Ivo M)
“Aku telah mempersembahkan diriku kepada Yesus, agar Dia melaksanakan kehendak-Nya
dalam diriku.”
(19 November 2010)
Namaku Marianus Ivo Meidinata. Aku tinggal di sebuah desa bagian selatan pulau Jawa. Aku tinggal bersama Maria Goreti Mistinah dan Fabianus Jumingan. Merekalah kedua orang tuaku. Aku dibesarkan oleh bimbingan mereka dan oleh bimbingan kedua kakakku yang begitu sabar. Martina Iva dan Karolus Iwan, itulah kedua kakakku. Kebahagiaan selalu menghiasi perjalanan kehidupan kami. Tidak juga kesedihan selalu menaungi kehidupan kami.
Masa kecilku direnggut perekonomian
Tak akan pernah terlupakan masa kesedihan yang begitu memilukan. Perekonomian keluarga semakin sulit seiring bertambahnya usia kami. Biaya sekolahku dan biaya sekolah kedua kakakku menghimpit semua, sehingga untuk meneruskan perjalanan kehidupan rasanya sangat mustahil. Entah apa yang ingin dilakukan orang tuaku untuk menutupi semua kekurangan itu. Aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan.
Bingung . . . Bingung . . .
Keluargaku mulai memutuskan sesuatu. Aku mendengar semua yang keluargaku bicarakan. Walaupun aku masih kecil, tetapi aku mengetahui dan mengerti tentang keputusan mereka.
Terpukul dan sedih yang ada pada hati dan diriku.
Tidak ada yang dapat dilakukan, selain hanya berdiam diri dan mengikuti keputusan mereka.
Ibu terpaksa meninggalkan kami, memutuskan untuk bekerja di luar negeri, tepatnya negara Brunei Darusalam.
Hari keberangkatan ibu telah di depan mata. Rasa sedih telah menghantui diriku. Air mataku keluar dengan deras, saat detik-detik keberangkatan ibu mulai terasakan. Ingin aku menutupi semuanya, tapi segala usahaku sia-sia. Semua keluarga dan sanak saudara telah mengetahuinya.
“Jangan menangis nak! Ini semua untuk kebaikanmu dan kebaikan kita semua! Nanti belajar yang rajin ya, supaya kalau kamu sudah besar kamu bisa meraih cita-citamu. Besok kalau ibu pulang, kamu ibu bawakan mobil-mobilan yang banyak dan bagus-bagus”, kata ibu kepadaku.
Hanya kekesalan dan kesedihan yang ada pada diriku, sehingga tak satu pun kata yang terucap dari mulut mungilku. Semua kejadian itu tak pernah hilang dari pikiranku. Bahkan sampai sekarang, semua perkataan yang terucap dari mulut ibu masih membekas di hati dan pikiranku.
Indahnya masa kecilku hilang begitu saja, sebab saat itu umurku baru 5 tahun. Kasih sayang ibu tidak dapat menemani setiap langkah hidupku.
***
Mulai dari detik itu, pribadi seorang ibu, selalu ku cari. Entah mengapa aku dapat bertingkah seperti itu? Semuanya telah berjalan begitu saja. Kepolosan masa kecil, telah membawaku pada kenyataan itu. Pribadi ibu yang pengertian, lemah lembut, penyayang, dan penuh cinta itulah yang ku harapkan.
Hari-hariku mulai ku jalani dengan rasa penasaran, yang ingin selalu kutemukan seseorang yang dapat kuanggap sebagai ibu. Kupikirkan, memang ada benarnya suatu pernyataan yang berbicara bahwa, guru adalah orang tua kedua dari murid-muridnya. Aku merasakannya, kedua guru TK-ku kuanggap sebagai ibuku sendiri. Ibu Titik dan ibu Ana nama kedua guru TK itu. O iya saat itu aku bersekolah di TKK St. Theresia.
Aku tak seperti teman-temanku yang lain, mereka selalu diantar, ditunggu dan pulang bersama ibu mereka. Rasa minder dan iri sempat berkali-kali muncul dalam benakku. Tetapi kedua guru TK-ku itu mengetahui perasaanku. Beliau juga mengetahui tentang kondisi keluargaku, dimana aku saat itu telah ditinggal kerja ibu. Beliau membimbing dengan sabar. Waktu istirahat sering kugunakan untuk bercanda bersama beliau. Sangat berbeda dengan teman-teman yang lain, mereka selalu bersama ibu masing-masing di waktu istirahat berlangsung. Tetapi aku tetap bangga dengan ibu yang rela untuk hidup jauh dari anak yang imut seperti aku ini, hanya demi masa depanku. He...he...
Suatu hari, jam istirahat berlangsung. Aku melihat satu teman yang sedang makan bersama ibunya. Mereka terlihat begitu bahagia, canda tawa seolah selalu mempersatukan dimanapun mereka berada. Aku mulai teringat akan ibu. Aku berlari ke samping sekolah. Disana hanya angin sepoi-sepoi dan suara tawa dari teman-teman yang menemani.
Aku merenung dan bertanya pada diriku, “Mengapa harus aku yang merasakan kesedihan ini?”
Entah mengapa air mataku tidak menetes sedikit pun. Hatiku mulai berontak atas perilakuku yang terlalu menganggap bahwa kedua guruku adalah ibu.
***
Yupzz.............
Kehidupan keluargaku terasa hampa tanpa adanya seorang wanita yang mencintai suami dan anak-anaknya. Tetapi kami selalu berpikir positif dan percaya akan segala rencana-Nya. Kami juga sering berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan ibu, karena disana ibu hanya sendiri dan pasti membutuhkan doa kami.
Di sisi lain, aku mempunyai bapak yang sangat mencintaiku. Hampir semua waktu kuhabiskan bersamanya. Aku bangga pada bapak, yang dapat membesarkan anak-anaknya tanpa dampingan seorang istri. Beliau selalu mengajar kami tentang kesabaran, kesederhanaan, tanggung jawab dan kepemimpinan. Sedangkan Mas Iwan, aku jarang bermain bersamanya. Mungkin itu karena dia sering keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya. Sebab semenjak ibu kerja di Brunei dia lebih senang keluar rumah. Tetapi dari pribadi Mas Iwan aku mendapatkan banyak hal mulai dari ketegasan, keramahan, dan mungkin panggilanku muncul berkat mas Iwan, sebab dulu dia bercita-cita untuk menjadi seorang pastor Passionis. Aku juga memiliki seorang bidadari yang sangat cantik. Ok, itulah mbak Iva. Dia rajin, pemberani, tangguh dan selalu tanggap pada situasi sekitar. Aku sangat mencintai mbak Iva. Sebab dialah yang selalu ada disuka dan dukaku. Dia sangat sensitif, tetapi aku suka menggodanya, sebab jika dia marah rumahku seakan runtuh dan aku pasti tertawa melihat kejelekkan wajah mbak Iva. Itulah mengapa aku memiliki sifat-sifat seperti mereka, sebab dari kecil aku meneladan mereka.
***
Aku mulai beranjak pada tingkat pendidikan selanjutnya. Orang tuaku memilihkan SDK St. Xaverius sebagai sekolah lanjutan. Di sekolah itu, ada 4 teman TK-ku. Pras, Theo, Putri dan Lia. Kami selalu bersama saat sekolah, main bersama dan nakal bersama, wah asyik pokoknya. Tetapi dua tahun kemudian Putri, Lia dan Theo pindah sekolah. Jadi, tinggal aku dan Pras yang tetap bertahan bersama. Dialah sahabat pertamaku yang ku temukan. Kami selalu bersama baik suka maupun duka. Aku senang bersahabat dengannya, berkat dia aku dapat merasakan menjadi anak desa yang benar-benar desa. Berenang di sungai, berpetualang sampai hutan-hutan pedalaman, menggembala domba, memancing, itulah kehidupan di umur 8 sampai 13 tahun yang kami lalui. Kami juga bangga terhadap diri masing-masing sebab kami dapat lulus SD dengan nilai yang hampir sama dan 100% hasil jerih payah sendiri.
Saat SMP kami bersekolah di sekolah yang berbeda, sebab dia memutuskan untuk bersekolah di sekolah pilihan Bapaknya. Walaupun demikian kami tetap bermain bersama, sama seperti dulu walaupun itensitasnya berkurang. Aku bangga memiliki sahabat seperti Pras, yang mana tidak semua anak di usia itu dapat mempunyai sahabat.
Aku sempat kecewa dengannya, di sekolah yang baru dia tumbuh menjadi pribadi yang kurang baik. Dia sering merokok dan miras, sering bolos sampai akhirnya dia dikeluarkan dari sekolah. Aku menyadari mengapa dia bertumbuh menjadi pribadi demikian. Pada awalnya dia memang dipaksa oleh Bapaknya untuk bersekolah disana, sehingga dalam perjalanan dia sama sekali tidak ada semangat untuk sekolah. Dia sering bercerita tentang segala masalahnya itu, teapi apa boleh buat, semua adalah keputusan bapaknya.
Kisah SMPku tidak kalah seru, lho. Aku bersekolah di SMPK St. Albertus. Dulunya sekolah ini begitu maju dan populer, namun saat aku bersekolah disana kualitasnya sedikit turun. Awal bersekolah disana, aku bangga dapat mempunyai banyak teman dari daerah dan latar belakang yang berbeda.
Seperti biasanya, di tempat yang baru aku pasti mencari suatu hal. Selama satu bulan, dua bulan, tiga bulan, aku tidak menemukan. Aku memandang semua, dekati satu persatu, penyatuan perasaan, tetapi hanya bayang dan angan saja yang aku dapat. Satu yang ku cari selama itu, yaitu seorang sahabat. Saat itu aku terlalu menggebu-nggebu, sehingga tidak memikirkan bahwa itu terlalu cepat. Berbulan-bulan aku lalui perjalanan pendidikan bersama teman-teman baru yang dapat dibilang unik-unik. Aku dekat dengan Rengga, Theo, Ludi, Pungki, Yaya, dan Eris. Rengga adalah putra guru PKN, Theo dialah temanku saat TK dan SD yang kuceritakan tadi, Ludi dan Pungki adalah teman yang sebelunnya belum pernah kenal, sedangkan Yaya dan Eris, dua siswi pintar yang kukenal lewat kegiatan di gereja.
Indahnya kisah cintaku
Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia,
karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat. (Roma 13:10)
Ku cari-cari seorang sahabat, tapi kenyataannya cinta monyet yang kudapat. Aneh memang. Di empat bulan perjalanan mengenal SMP, seorang kakak kelas yang bernama Richi Ervina Sari ternyata menyukaiku. Aku tidak menanggapinya dengan serius, tetapi aku juga tidak akan menyakiti hati seorang cewek. Karena aku adalah tipe cowok yang tidak tega menyakiti hati seorang cewek. Kelas VII B, itulah tempat PDKT sekaligus tempat favorite kami. Saat itu mungkin aku masih polos sehingga dengan sepucuk surat aku menyatakan cinta. Aku yakin dia menerimaku, karena aku tahu dia berharap padaku.
Tiga bulan kami jalani, banyak hal yang membuat kami semakin menyatu. Semua teman mendukung hubungan kami, walaupun keadaannya aku adalah adik kelasnya. Aku mencoba berulang kali mengajak dia pulang bersama, tetapi selalu tolakan yang aku dapat. Aku mengerti dan menghargai apa yang dia maksud. Dia kasihan kepada Elfa (temannya), karena setiap hari dia pulang bersama Elfa, dan hanya berdua, terlebih rumah mereka jauh. Tetapi yang tak kusekai dari dirinya adalah dia pribadi pencemburu. Aku sempat kecewa kepadanya, dia pernah melabarak tetanggaku. Mengapa? Namanya Linda, dia kakak kelas sekaligus tetanggaku, aku dan Linda sering pulang bersama. Itu yang menjadikan rasa cemburunya muncul. Lebih-lebih Eris dan Yaya juga menjauhiku dengan alasan mereka takut kena semprot dari Ervina. Mungkin mereka pernah mengalami hal yang sama dengan Linda.
Aku bingung . . .
“Aku harus memilih Ervina atau teman-temanku?”
Di masa perenungan itu, dia marah kepadaku. Tanpa pikir panjang aku semakin menjauh. Sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hubungan kita tanpa status. Kata putus atau terus tidak pernah keluar dari mulut kami, bahkan sampai detik ini, saat aku menjadi seminaris.
Ketika dia lulus SMP, aku turut bahagia atas keberhasilannya. Perasaan dendam tak pernah ada di dalam hatiku.
Saat pelepasan angkatan Ervina, aku adalah salah satu panitia, sehingga aku mengikuti acara tersebut. Moment itu kumanfaatkan. Aku menghampirinya disaat dia bersama teman-temannya. Aku menyapanya, “Hey, selamat ya!”
“Iya . . .
Aku juga berterima kasih atas semua dukungan dan doa darimu. Mungkin keberhasilan ini juga karena kamu.”
“Ehm . . . Ya enggak segitunya kale, hehehe...” Di situasi itu aku menyempatkan untuk bercanda. Tidak terasa kami bercanda selama lima menit. Dan ternyata dia sudah ditunggu ibunya, sehingga dengan terpaksa kami berpisah. Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir kami.
Aku sempat kaget atas pesan terakhir yang dia ucapkan kepadaku, “Oh iya . . . Terus berjuang, kejar cita-citamu, aku selalu mendukungmu di jalanmu untuk menjadi seorang pastor.”
Aku bertanya dalam hati atas pesan yang dia lontarkan. “Apakah dia benar-benar mengetahuinya? Dan darimana dia mengetahui tentang cita-cita untuk menjadi seorang pastor?”
***
Banyak kemampuan yang aku dapat. Aku tidak begitu populer, tapi kepopuleran kudapat dari kehidupan rohani. Aku dipandang sebagai siswa yang kuat dalam rohani baik oleh teman-teman maupun para guru. Di bidang lain aku juga dianggap sebagai raja pramuka dan PMR. Aku banyak menyumbang tropi-tropi untuk sekolah karena kemampuan itu. Kompas yang menjadi momok bagi setiap penggalang dapat aku taklukkan. Dari kegiatan itu aku menemukan seseorang yang dapat membuat aku sayang padanya. Dia si ratu pramuka Imaculata. Dia seangkatan denganku. Aku sempat jatuh cinta kepadanya. Tetapi aku tidak pernah menyatakan cinta kepadanya. Dia sudah menganggap aku sebagai kakaknya, sebab keluarganya sudah dekat dengan keluargaku, bahkan kami sudah menganggap keluarga. Itu yang membuat aku tak berani menyatakan perasaan itu.
Sebelum kami bimbingan/persiapan UNAS dia berulang kali mengajakku untuk mendengar curahan hatinya alias curhat. Hal itulah yang memunculkan cinta. Aku selalu mendengar semua curhat tentang cowok-cowok menyukainya atau yang dia sukai. Aku pun selalu memberi solusi yang terbaik baginya. Tidak pernah aku memperlihatkan kecemburuanku kepadanya sebab aku tak mau mengecewakannya. Cinta memang bertepuk sebelah tangan.
Tetapi perasaan itu tak berlangsung lama, aku menyadari bahwa aku lebih pantas menjadi kakaknya. Aku pun sudah dipercaya oleh keluarganya untuk memberi teladan kepadanya. Dan itulah keputusan yang keluar dari hatiku.
Tuhan memang memanggil diriku
Dari umur lima tahun sampai saat ini aku ditinggal ibu yang bekarja sebagai TKI.
Aku merasakan hangat ciuman seorang ibu hanya dua tahun sekali, sebab ibu cuti dua tahun sekali. Sekitar tahun 2007 banyak TKI yang menderita, disiksa dan dilecehkan. Saat itu banyak saluran televisi yang menyairkan kejadian itu. Sore hari sebelum saya mandi, bapak dan mbak Iva terlihat kebingungan. Berulang kali ibu telepon ke rumah, majikan ibu berulang kali juga telepon ke rumah, sedangkan bapak berulang kali telepon mas Iwan.
Aku bertanya kepada bapak, “Apa yang terjadi dengan ibu?”
Sahut bapak dengan ekspresi kebingunagn, “Ibu terkena masalah di Brunei. Ibu juga kurang menjelaskan apa masalahnya? Katanya, ibu mau cepat pulang.”
Aku lari ke kamar mandi, aku berdoa atas masalah kurang jelas yang dialami ibu. Pikiranku tak karuan, aku sudah membayankan yang tidak-tidak.
“Tuhan berikan ibu keselamatan, ijinkanlah ibu pulang ke Indonesia, gaji ibu tak penting bagiku, tetapi yang paling penting adalah jiwa dan raga ibu.”
Ketika aku selesai mandi, bapak sudah menonton televisi.
“Pak, gimana ibu?”
“Nggak, ternyata ibu hanya minta tolong supaya bapak berbicara kepada majikannya bahwa ibu harus pulang. Bapak berbohong supaya ibu dapat keluar dari tempat itu, karena ibu merasa tidak nyaman dengan majikannya. Tetapi ibu tidak pulang sungguhan, ibu sementara ini tinggal di kosnya bulik.”
“Syukur kepada Allah, ternyata kekhawatiranku tidak terjadi.”
Berbulan-bulan telah berlalu, saat itu aku kelas VIII SMP. Keinginanku untuk menjadi romo semakin mantap. Ibu pulang. Sudah dua tahun kami berpisah. Kesempatan itu kumanfaatkan. Saat bapak, ibu, kakak dan saya menonton televisi, aku meminta ijin kepada ibu untuk bersekolah di seminari. Perdebatan terjadi diantara kami. Ternyata ibu melarang dengan keras keinginan itu. Aku sempat membentak ibu, sampai-sampai beliau menangis. Aku memotong pembicaraan, karena aku merasa waktunya belum tepat. Pada kesempatan lain, aku berbicara kepada bapak, “Bagaimana pak, apakah sebaiknya aku tidak jadi sekolah di seminari?”
Dengan bijaksana beliau menyambung,”Ibu tidak usah dipikirkan, kamu tidak selamanya hidup bersama ibu, kalau memang itu panggilanmu lakukan saja!”
Aku lega, ternyata bapak mendukungku.
“Terima kasih bapak atas dukunganmu, bapak memang orang yang dapat mengerti aku.”
Ketika kelas IX aku mendaftar ke seminari dan aku diterima. Saat itu ibu berada di Brunei. Aku mengabarkan berita penerimaan itu kepada ibu. Dari nada beliau ketika menjawab perkataanku, aku mengetahui beliau kecewa dan ingin melarang aku masuk seminari.
Aku terpaksa berbohong, “Tenang saja bu, aku di seminari cuma sampai SMA. Setelah SMA aku keluar!”
Ibu merasa sedikit lega atas kebohonganku itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, maafkan aku ibu. Memang ini adalah panggilanku, dan aku akan terus memperjuangkan walaupun tantangan dan rintangan datang silih berganti.
***
Arti sebuah persahabatan kembali terasa lewat kehadiran 3 temanku. Umur mereka lebih tua. Disa, Ardi dan Danang menghiasi kehidupanku di kelas IX SMP. Aku dan Disa sudah menganggap kakak-adik sendiri sebab kami sering main bersama sejak kecil. Dengan kedatangan Ardi dan Danang, persahabatan semakin terasa sebagai sebuah geng. Walaupun aku paling kecil tetapi mereka tidak pernah mempermainkanku. Kami selalu bersama, rumahku adalah tempat tongkrongan. Bermain gitar sambil menyanyi ditambah minum kopi panas adalah moment yang tidak bisa dilupakan. Tidak pernah dilupakan pula, keanehan tentang hobi kami. Kami memiliki hobi bergaya saat berfoto-foto dengan handphone berkamera. Kami juga berharap, bila suatu saat kami berpisah entah karena apa, kami tidak akan melupakan semua kenangan indah itu.
Perpisahan pun kuawali ketika aku berpamitan kepada mereka untuk melanjutkan hidup di seminari. Mereka sangat mendukung pilihanku itu. “Terima kasih sahabat-sahabatku atas dukungannya, aku berjanji untuk selalu setia pada panggilan ini dan aku berjanji tidak akan melupakan kalian.”
***
Tepat pada tanggal 11 Juli 2009 aku memulai hidup sebagai seminaris. Awalnya, aku bersemangat hidup di seminari, tetapi lama-kelamaan keinginan untuk keluar dari seminari semakin terasa. Satu Minggu telah berlalu, keinginan itu semakin memuncak. Aku memberanikan diri menghadap romo rektor, romo Centi sapaannya. Awal menjadi seminaris aku sudah mengundurkan diri. Beliau menghimbau supaya aku mencoba hidup baru ini lebih lama lagi dan juga supaya aku menghubungi keluarga dahulu sebelum memutuskan untuk keluar. Kulakukan kedua himbauan Romo Centi itu. Ku jalani kembali rutinitas hidup baru dengan harapan Tuhan akan memberi jawaban atas semua permasalahan itu.
Benar...
Aku mulai menikmati rutinitas hidup seminari dan yakin bahwa Tuhan benar-benar memanggil untuk menjalani hidup dalam penyemaian panggilan yang telah tumbuh pada diriku. Aku hidup bersama semua teman yang baru aku kenal di seminari. Angkatan santo Joseph itulah pelindung angkatanku. Hari demi hari kulewati, tantangan, suka dan duka mulai terasa datang silih berganti. Banyak tuntutan seminari yang harus dipenuhi, perjuangan selalu ada di kelas sepuluh, terutama dalam intelektual. Tuntutan untuk selalu belajar dan belajar membuat aku benar-benar merasakan arti dari belajar sendiri, sebab sebelumnya istilah 'belajar' hampir tidak ditemukan dalam 'kamusku'.
Kehidupanku terasa lebih bermakna. Kebersamaan yang kurasakan serta kepedulian dan perhatian teman-teman, membuat aku merasakan bahwa Tuhan benar-benar mengasihiku. Aku berusaha untuk akrab dengan semua teman tanpa pilih-pilih dari antara mereka. Aku juga berusaha untuk dekat dengan kakak kelas, dengan harapan dapat belajar banyak hal dari mereka. Seperti air tenang yang mengalir di antara bebatuan, aku menjalani hidup di seminari. Sampai akhirnya peristiwa itu terjadi. Kesedihan yang belum pernah kualami menerjang diriku. Bumi seminari mengalami kehampaan, cuaca mendung yang berakhir dengan hujan deras sempat terjadi dan tak akan pernah terlupakan. Aku terpaksa berpisah dengan beberapa teman, mereka terpaksa melanjutkan pendidikan di luar seminari. Baru kali ini aku merasakan kesedihan yang mendalam ketika berpisah dengan teman. Benar... Aku merasakan anugrah persaudaraan yang sebenarnya.
Ku lalui hidup selanjutnya tanpa beberapa teman dan tanpa satu teman dekat. Kesepian sempat muncul. Terus mengalir itulah kehidupanku. Aku melihat beberapa teman mulai mempunyai teman dekat atau bisa disebut sahabat. Aku menanggapinya dengan negatif, aku mulai tak suka dengan teman-teman itu. Mereka terkesan pilih-pilih dalam bergaul. Sampai akhirnya pemikiran itu tertanam dalam otakku.
Aku mulai bingung akan sikapku yang seperti itu.
Aku merenung, “Mengapa sih, aku bisa menjadi manusia yang seperti itu?'.
Tanpa kusadari aku memakan omonganku sendiri. Aku mulai terobsesi akan sahabat. Di pertengahan semester dua, mulai kucari dan selalu kucari seorang yang dapat menjadi sahabat yang mendukungku di jalan panggilan. Walaupun demikian aku berpikir untuk 'jangan terlalu' aku merasa belum waktunya, sebab aku juga masih duduk di kelas sepuluh. Aku berpikir untuk lebih mempersiapkan UAS, yang menentukan terus tidaknya jalan Imamatku.
UAS kulalui dengan penuh was-was. Aku mulai tertekan dengan rasa takut yang berlebihan. Belajar dan berdoa tanpa berhenti itu adalah peganganku. Berpasrah pada Tuhan dan tetap berusaha adalah niatku. Pagi, sore, malam belajar terus. Walaupun demikian aku tetap meluangkan waktu untuk sekedar memanjakan pikiran dengan istirahat dan olah raga.
UAS telah selesai, hasilnya akan segera dibagikan. Rasa takut masih tetap menghantui. Sembari para seminaris mengikuti acara HPK (hari pembinaan komunitas) yang saat itu bertema musik liturgi, kami angkatan Santo Joseph menggunakan waktu penantian hasil UAS untuk bersenang-senang bersama, kami mulai bersatu tanpa ada sekat antara kelas A dan B. Sabab kami juga takut bila ada beberapa dari kami yang akan meninggalkan seminari seperti tahun- tahun sebelumnya.
Akhirnya hari penerimaan raport telah tiba. Rasa takut masih menghantui, kusiapkan jiwa dan raga. Rasa sedih detik demi detik mulai muncul. Satu per satu dari temanku dipanggil oleh romo. Penantian kabar dari beberapa teman telah ditunggu. Sedih... Penyesalan... Kemarahan... Kecewa... Datang ketika kabar dari beberapa teman yang dipanggil romo dilontarkan.
“Sorry teman... aku tidak bisa menemani kalian, aku disarankan oleh romo untuk meneruskan pendidikan di luar”, Kata seorang temanku yang bernama Divin dengan ekspresi wajahnya yang berusaha untuk tersenyum.
Datang pula beberapa teman dengan keputusan dari seminari yang sama. Kami meneteskan air mata. Aku berlari ke kamar mandi. Aku terpukul atas semua itu. Kupaksakan diri di situasi yang demikian untuk mandi. Tetapi kesedihan tetap tak bisa dibohongi. Ketika aku keluar dari kamar mandi tiga temanku menangis di pojok ruang tidur. Yogi terpaksa melanjutkan di luar. Mencoba untuk menghibur mereka adalah hal tepat yang kulakukan.
“Mengapa Tuhan hal yang demikian muncul kembali, melebihi enam bulan yang lalu?” Saat penerimaan raport kami berusaha untuk tenang, walaupun masih ada teman yang menangis. Kami sudah mulai menerima semua kehendak Tuhan. Kubuka raport dengan hasil yang cukup memuaskan. Saat itu rasa senang tak bisa muncul, perasaanku sudah bersatu dengan teman semua dalam kesedihan.
Keesokan harinya, tepatnya setelah misa. Divin, Yogi, Hendrik, Al, Adit, dan Rico berpamitan kepada komunitas. Sedangkan Vincent memutuskan untuk mengulang di seminari. Satu persatu dari kami menangis, aku tidak bisa membendung kesedihan , air mata muncul saat itu.
“Selamat jalan sobat-sobatku, aku berjanji tidak akan melupakan kalian, terus berjuang dan Tuhan selalu memberkati.”
Di tahun yang baru
Ku melangkah di tahun ajaran 2010-2011 bersama 23 saudara. Kehilangan saudara di waktu lalu membuat kami tertantang untuk mempertahankan jumlah dalam angkatan Joseph. Kekompakan kami dalam hidup berkomunitas membawa pada kegilaan. Kami mulai urakan, ramai, pokoknya jadi angkatan terkonyol di seminari. Maklum saja, kami sudah menginjak pendidikan pada tingkat ke dua.
Di situasi yang demikian, hatiku mulai terusik akan suatu hal yang mengganjal. Kulihat beberapa teman memiliki sahabat, yang ada di suka dan duka. Aku mulai menginginkannya. Tapi apakah mungkin aku mendapatkannya? Usahaku pada tahun lalu telah terhenti, akankah aku meneruskannya kembali? Dan apakah sosok sahabat memang dibutuhkan di seminari, dimana aku telah memiliki saudara-saudara yang perhatian kepadaku?
Ku mulai bertanya kepada guru BP dan romo pembimbingku tentang pentingnya seorang sahabat di jalan Imamat. Bagi mereka sahabat memang begitu penting bagi perkembangan seorang seminaris. Sahabat adalah seseorang yang selalu ada di suka dan duka. Kepeduliannya melebihi kepedulian seorang teman.
Langkah yang pasti ku ayunkan. Ku lewati jalan berbatu dalam impian ini. Tak terasa ku mulai hilang arah. Ku mulai tak terkontrol. Ku mulai terperosok. Dan ku mulai salah. Keinginanku yang tak sesuai dengan kepribadianku membuat aku salah melangkah. Di pertengahan semester awal ini, aku mulai jauh dari angkatan, mulai merasa tak diterima sebagai “Joseph Brothers”. Ivo yang dulunya dikenal sebagai seminaris yang suka bergaul dan punya banyak teman, sekarang tinggal kenangan. Apakah itu hanya perasaanku saja atau memang semua temanku merasakan hal yang sama? Ku tak tahu, tapi aku merasakan hal tersebut. Merenung di setiap malam itulah kegiatanku. Menanti sebuah jawaban atas semua yang terjadi. Hanya Tuhan Yesuslah yang mengerti akan semuanya. Aku akan selalu mencarinya walaupun tak mungkin ada bagiku, tanpa meninggalkan ciri khas yang ku punya.
“Tuhan tidak memberikan jawaban persoalan hidup kita secara langsung, karena Ia ingin agar kita bergumul dengan keinginan kita. Melalui pergumulan itu, kita bertumbuh menjadi orang-orang yang dewasa seperti yang Tuhan kehendaki.” (Soren Kiekegaard)
Arti sebuah pencarian
“Cinta seorang ibu mempersatukan.
Cinta seorang ibu dapat merobohkan tembok pemisah.”
Aku tidak menyangka bahwa di usia ke 16 tahun ini aku masih hidup jauh dari ibu. Ibu memang masih bekerja di Brunei Darusalam dan rencananya akan berhenti di usiaku yang ke 17 atau 18 tahun. Tetapi hidup tak mendukung aku untuk hidup bersama ibu, setidaknya lebih dari 6 tahun. Dari umur 5 sampai 16 tahun aku hanya hidup bersama bapak dan kedua kakakku. Aku sekarang telah hidup di seminari. Apakah aku masih dapat hidup kembali di pelukan seorang ibu yang setia untuk mendampingi? Bila mungkin, akankah aku harus meninggalkan jalan yang sudah kulalui ini? Itulah yang selalu ada di pikiranku.
Selama kurang lebih 11 tahun, aku tak hidup di pelukan mesra seorang ibu. Selalu ku cari, sosok perempuan yang ada dalam hidupku. Tak terduga, aku bisa seperti ini. Tak ada yang mengetahuinya bapak, ibu dan kedua kakakku. Sifatku yang kekenakan adalah usaha untuk selalu mencari seorang ibu dalam diriku. Ku mengharapkan seluruh anggota keluarga merasa kasihan atas perilaku ini, aku harap mereka tahu atas keinginanku. Tapi ternyata tidak. Mereka tak peduli akan keinginan ini, sampai umur ke 16 tahun ini, mereka tak tahu. Aku ingin ibu pulang dan merawatku sebelum aku masuk seminari. Ternyata tidak, aku tetap sendiri. Aku pun tak menyangka kekecewaan kepada keluargaku membuat aku menemukan sosok yang kuanggap ibu, dia bukan ibuku dan sebenarnya tidak pantas ku anggap ibu. Mbak Iva, ku anggap ia ibuku. Tak tahu mengapa terjadi kenyataan ini. Perasaan itu muncul ketika berumur antara 6 sampai 7 tahun dan terbawa hingga kini. “Maafkan adek, mbak Iva. Adek sudah menganggap mbak Iva sebagai Ibu adek. Ibu, maafkan aku, bukannya aku melupakan semua jasa ibu, tetapi perasaan ini muncul dari awal ibu meninggalkan aku. Tapi, bagiku ibu adalah wanita yang paling berharga untuk selamanya.”
***
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesukaran.”
(Ams 17:17)
Sahabat, tak akan pernah ku lupakan. Seminari biarlah menjadi saksi bisu akan semua cerita persahabatanku. Biarlah menjadi teka-teki bagi semuanya. Yang pasti aku hanya berharap persahabatan terus ada di hatiku dan di hatimu. Tentang kamu? Biar menjadi angan-angan mimpi setiap insan. Terima kasih sahabat, atas semua jawaban yang selama ini ku cari. Selalu ku cari, ingatlah itu di setiap langkah hidupmu.
Beda lagi, tentang satu ini, yang tak sengaja kutemukan di seminari.
“Di sisa hidupku ini” Masih ingatkan?
Bagi kamu yang tahu tentang, siapakah kamu? Terima kasih pula atas pengalaman pertama dan terakhir yang tak sengaja dialami. Atas semua perilakuku yang merepotkan, disini kata 'maaf' telah dikirimkan.
Inilah Aku
Inilah aku yang sebenarnya. Semua yang kugoreskan ini, adalah pengakuanku yang pertama. Maafkan aku bapak, ibu, mas Iwan, mbak Iva atas diriku yang selalu tertutup ini. Aku sudah merasa lega karena aku sudah mencurahkan isi hati yang tersimpan bertahun-tahun. Aku harap kalian tak kecewa. Aku juga berterima kasih kepada kalian, sebab berkat kalian aku dapat menyelesaikan kisah hidup ini.
Bagi kalian, sahabat-sahabat dan teman-temanku. Sudah tahukan siapa aku? Inilah sedikit ucapan terima kasihku kepada kalian. Aku tak akan melupakan kalian. Dimanapun dan kapanpun, memori-ku selalu tersedia bagi kalian.
Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku ya Tuhan,
gunung batu dan penebusku.
(Mazmur 19:15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar