Karya seminaris
Rabu, 27 Juni 2012
Selasa, 26 Juni 2012
Minggu, 01 Januari 2012
Siapa yang Mau?
(Marianus Ivo M)
Sepulang dari Australia, Savo langsung menuju Desa Sidodadi tempat dimana dia dibesarkan. Savo adalah siswa berprestasi yang mendapat beasiswa untuk bersekolah di Australia. Dia seorang yang baik, yang peduli akan kondisi sekitarnya.
Sesampainya di Desa Sidodadi, dia sangat terkejut akan sambutan yang dia lihat, yaitu kondisi desa yang kumuh. Sungguh tidak mencerminkan kondisi desa yang lestari. Savo kecewa akan apa yang telah dia lihat ini. Padahal ketika di Australia, dia selalu membayangkan kondisi desa yang asri, yang melebihi keasrian ketika dia masih berada di tengah desa tersebut. Dalam benaknya dia berkata, “Aku telah meninggalkan desa ini selama 5 tahun. Dulu, desa ini adalah teladan desa yang lain yang selalu mendapat pujian dari bapak camat. Mengapa kini setelah 5 tahun kutinggalkan, kondisi semakin parah, lebih parah dari korban tsunami.” Sungguh kecewa Savo akan desa yang dikaguminya.
Rumah Savo semakin lama semakin terlihat. Dia sangat rindu akan rumahnya itu. Dari kejauhan dia sudah menunjukkan ekspresi wajah yang berbinar-binar dan matanya mulai kerkaca-kaca. Maklum saja, Savo ini bukan tipe orang yang senang berada jauh dari keluarganya apalagi dari rumahnya itu. Dan baru pertama kali ini, selama bertahun-tahun dia jauh dari keluarga dan rumah kesayangannya itu.
Mobil yang mengantar Savo berhenti tepat di depan rumah Savo. Keluarga besarnya menyambut Savo dengan kesederhanaan, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang desa. Hanya dengan makan siang ala kadarnya beserta kelapa muda yang turut menghiasi meja makan.
Penyambutan Savo semakin terasa ketika dia melihat Ndari, sahabat kecilnya. Walaupun sudah dianggap orang besar oleh masyarakat desa Sidodadi karena beasiswanya itu, Savo tetap menjadi Savo yang dulu. Savo tetap akrab dengan Ndari. Sebab sudah 17 tahun mereka hidup bersama. Rumah mereka tidak berjauhan hanya berjarak 10 meter, jadi memang sudah selayaknya mereka bersahabat.
Setelah mereka santap siang bersama, mereka duduk berdua di teras rumah Savo. Savo bertanya kepada Ndari tentang masalah yang ditemukannya ketika melihat kondisi Desa Sidodadi yang kumuh. “Eh, kok kondisi desa sekarang jadi seperti ini? Padahal dulu desa kita ini adalah desa teladan bagi kecamatan.” “Iya Savo, ini semua mungkin dikarenakan kepala desa tahun ini, yaitu Pak Samsudin. Beliau kurang perhatian akan masalah lingkungan. Warga pun sudah muak akan beliau, yang tak mau ambil bagian akan urusan masyarakat. Janji-janji yang dilontarkan sewaktu kampanya dulu hanyalah janji palsu.” “Hah… bukannya beliau sudah dari dulu dibenci oleh warga?” “Aku juga kurang tahu mengapa beliau sampai terpilih, mungkin ya karena janji gombalnya itu.” Ndari teringat akan sesuatu, “ Aduh, kelinciku belum makan hari ini dan aku belum mencari makan untuk dia. Aku pulang dulu ya, mau cari makan untuk Siko kelinciku.” Setelah itu Ndari pulang dan Savo masuk ke dalam rumahnya untuk istirahat.
Sore hari, terlihat Savo merenung di teras rumah. Entah apa yang dia pikirkan, maungkin saja dia masih terbayang akan kondisi kumuh desanya itu.
Orang tuanya menghampiri. Sejenak di berfikir sesuatu dan mulai berbicara, “Pak, Bu apakah masyarakat bias diajak kembali untuk membangun desa ini menjadi desa yang bersih? Saya turut prihatin akan kondisi ini dan saya sebagai satu-satunya putera desa yang bersekolah di luar negeri turut bertanggung jawab untuk mengembalikan kondisi 5 tahun lalu.” “Bapak juga turut prihatin akan semua ini, tetapi apa boleh buat, masyarakat sudah tidak mau tahu akan semua ini. Sudah ada satu, dua warga yang mengajak masyarakat untuk memperbaiki desa, tetapi tetap hasilnya nol.” Karena jawaban itu, Savo meningglkan mereka lalu berjalan menuju luar rumahnya tanpa tujuan.
Ternyata Savo mengajak satu, dua, beberapa dan banyak warga untuk mengatasi masalah desanya itu. Semangat yang ada pada Savo tidak merubah pemikiran warga, tetap saja warga tidak mau.
Sampai akhirnya Savo meminjam sound, mic beserta perlengkapan lainnya untuk mengajak warga desa untuk mengatasi masalah itu. Dia dan Ndari berkeliling desa Sidodadi. “Ayo warga Desa Sidodadi, kita yang mempunyai desa ini berkewajiban memelihara dan merawatnya. Sekarang kita ketahui desa ini menjadi desa yang kumuh. Apakah anda rela gelar desa teladan yang telah kita punya dulu hilang begitu saja? Ayo semua kita bersama, bersatu untuk mewujudkan Desa Sidodadi menjadi desa teladan kembali. Biarkanlah pemimpin kita yang sudah acuh terhadap lingkungan. Biarkan dia! Yang penting kita pemilik desa ini mau bertindak. Ayo semuanya, siapa yang mau? Siapa yang mau?”
Banyak warga yang tertawa karena tindakan Savo itu. Ada yang mengejek dia. Ada yang diam. Tetapi ada juga yang sadar bahwa masalah desa perlu diatasi bersama, tetapi karena banyak yang tetap diam akhirnya mereka terbawa dan ikut diam.
Savo kecewa. Benar-benar kecewa. “Ndari kalau kau mau mengikuti mereka silahkan, aku tidak memaksa engkau. Tetapi aku tidak menyangka, putus asa mereka telah sebesar ini.” “Tidak Savo, aku akan mengikuti ajakanmu untuk mengatahi desa ini. Banyak suka dan duka sudah kita alami bersama. Setelah 5 tahun kita berpisah, kini saatnya kita ulangi kebersamaan kita. Kita berjuang bersama, kita buktikan kepada warga dan kepada Pak Samsudin bahwa kita bisa.”
Hanya Ndari saja yang mau mengikuti ajakan Savo. Setelah itu, mereka berdua mulai berjuang memulihkan Desa Sidodadi kembali seperti semula. Hasil belajar Savo selama ini tidak sia-sia. Ternyata dari hal yang mengecewakan tersebut, Savo dapat membantu desanya dengan ilmu yang didapat dari Australia.
Pertama mereka hanya membersihkan lingkungan yang paling kumuh. Rasa capek sedikit demi sedikit mulai terasa. Tetapi Ndari menemukan satu ide, “ Bagaimana kalau kita ajak anak-anak kecil di sekitar sini untuk membantu? Mereka pasti mau.” Akhirnya usaha Ndari berhasil. Sehingga mereka dibantu oleh beberapa anak kecil.
Masyarakat yang melihat hal itu, merasa ingin membantu. Keringat yang mengucur di tubuh Savo menggugah hati mereka. Sedikit demi sedikit dari mereka mulai membantu. Setelah itu, Savo berfikir untuk mengajak masyarakat yang lain kembali, mungkin dengan kesadaran sebagian masyarakat tersebut juga akan menyadarkan masyarakat yang lain. Savo mengajak mereka untuk berkeliling desa guna mengajak masyarakat yang lain. Hasilnya, banyak masyarakat yang mau mengikuti Savo.
Selama 3 hari, Desa Sidodadi melaksanakan kerja bakti, yang berupa bersih lingkungan, menanam tanaman hias, pemasangan lampu pada jalan yang gelap dan perbaikan jalan dengan swadaya sendiri. Savo mendapat banyak pujian dari masyarakat. Orang tua Savo dan Ndari bangga pada Savo, karena berhasil memulihkan desa tersebut, walaupun belum sepenuhnya kembali seperti dulu.
Sepulang Pak Samsudin dari liburan di Kota Batu, dia kaget melihat kondisi desa yang sedemikian rupa. Lalu dia memanggil salah seorang warga dan bertanya kepadanya, “Siapa yang menjadikan desaku ini menjadi sebersih ini. Lancang sekali dia melangkahi kekuasaanku.” “Ini semua hasil dari Savo yang mengajak masyarakat kerja bakti.” Akhirnya Savo dipanggil Pak Samsudin, disana Savo dihajar oleh Pak Samsudin karena dianggap melangkahi kekuasaannya. Ketika masyarakat mengetahui hal itu, bersama-sama mereka menuju rumah Pak Samsudin untuk memprotes tidakannya tersebut sekaligus mereka memintanya untuk mundur dari jabatan kepala desa. Tindakan masyarakat sungguh brutal, rumah Pak samsudin menjadi bulan-bulanan mereka begitu pula dengan mobil mobil yang dimilikinya. Saat itu pula, ternyata Savo masuk rumah sakit. Mendengar hal itu, Pak Samsudin sadar bahwa selama ini dia melakukan kesalahan yang besar pada desa itu. Dan saat itu pula, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan yang dia emban.
Savo tidak bisa melihat keputusan kepala desanya itu. Tetapi disana dia bersama Ndari turut bergembira akan keputusannya itu. Ini semua berkat jasa Savo juga Ndari yang telah mau diajak Savo memgembalikan kondisi desa tersebut.
Sepulang dari Australia, Savo langsung menuju Desa Sidodadi tempat dimana dia dibesarkan. Savo adalah siswa berprestasi yang mendapat beasiswa untuk bersekolah di Australia. Dia seorang yang baik, yang peduli akan kondisi sekitarnya.
Sesampainya di Desa Sidodadi, dia sangat terkejut akan sambutan yang dia lihat, yaitu kondisi desa yang kumuh. Sungguh tidak mencerminkan kondisi desa yang lestari. Savo kecewa akan apa yang telah dia lihat ini. Padahal ketika di Australia, dia selalu membayangkan kondisi desa yang asri, yang melebihi keasrian ketika dia masih berada di tengah desa tersebut. Dalam benaknya dia berkata, “Aku telah meninggalkan desa ini selama 5 tahun. Dulu, desa ini adalah teladan desa yang lain yang selalu mendapat pujian dari bapak camat. Mengapa kini setelah 5 tahun kutinggalkan, kondisi semakin parah, lebih parah dari korban tsunami.” Sungguh kecewa Savo akan desa yang dikaguminya.
Rumah Savo semakin lama semakin terlihat. Dia sangat rindu akan rumahnya itu. Dari kejauhan dia sudah menunjukkan ekspresi wajah yang berbinar-binar dan matanya mulai kerkaca-kaca. Maklum saja, Savo ini bukan tipe orang yang senang berada jauh dari keluarganya apalagi dari rumahnya itu. Dan baru pertama kali ini, selama bertahun-tahun dia jauh dari keluarga dan rumah kesayangannya itu.
Mobil yang mengantar Savo berhenti tepat di depan rumah Savo. Keluarga besarnya menyambut Savo dengan kesederhanaan, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang desa. Hanya dengan makan siang ala kadarnya beserta kelapa muda yang turut menghiasi meja makan.
Penyambutan Savo semakin terasa ketika dia melihat Ndari, sahabat kecilnya. Walaupun sudah dianggap orang besar oleh masyarakat desa Sidodadi karena beasiswanya itu, Savo tetap menjadi Savo yang dulu. Savo tetap akrab dengan Ndari. Sebab sudah 17 tahun mereka hidup bersama. Rumah mereka tidak berjauhan hanya berjarak 10 meter, jadi memang sudah selayaknya mereka bersahabat.
Setelah mereka santap siang bersama, mereka duduk berdua di teras rumah Savo. Savo bertanya kepada Ndari tentang masalah yang ditemukannya ketika melihat kondisi Desa Sidodadi yang kumuh. “Eh, kok kondisi desa sekarang jadi seperti ini? Padahal dulu desa kita ini adalah desa teladan bagi kecamatan.” “Iya Savo, ini semua mungkin dikarenakan kepala desa tahun ini, yaitu Pak Samsudin. Beliau kurang perhatian akan masalah lingkungan. Warga pun sudah muak akan beliau, yang tak mau ambil bagian akan urusan masyarakat. Janji-janji yang dilontarkan sewaktu kampanya dulu hanyalah janji palsu.” “Hah… bukannya beliau sudah dari dulu dibenci oleh warga?” “Aku juga kurang tahu mengapa beliau sampai terpilih, mungkin ya karena janji gombalnya itu.” Ndari teringat akan sesuatu, “ Aduh, kelinciku belum makan hari ini dan aku belum mencari makan untuk dia. Aku pulang dulu ya, mau cari makan untuk Siko kelinciku.” Setelah itu Ndari pulang dan Savo masuk ke dalam rumahnya untuk istirahat.
Sore hari, terlihat Savo merenung di teras rumah. Entah apa yang dia pikirkan, maungkin saja dia masih terbayang akan kondisi kumuh desanya itu.
Orang tuanya menghampiri. Sejenak di berfikir sesuatu dan mulai berbicara, “Pak, Bu apakah masyarakat bias diajak kembali untuk membangun desa ini menjadi desa yang bersih? Saya turut prihatin akan kondisi ini dan saya sebagai satu-satunya putera desa yang bersekolah di luar negeri turut bertanggung jawab untuk mengembalikan kondisi 5 tahun lalu.” “Bapak juga turut prihatin akan semua ini, tetapi apa boleh buat, masyarakat sudah tidak mau tahu akan semua ini. Sudah ada satu, dua warga yang mengajak masyarakat untuk memperbaiki desa, tetapi tetap hasilnya nol.” Karena jawaban itu, Savo meningglkan mereka lalu berjalan menuju luar rumahnya tanpa tujuan.
Ternyata Savo mengajak satu, dua, beberapa dan banyak warga untuk mengatasi masalah desanya itu. Semangat yang ada pada Savo tidak merubah pemikiran warga, tetap saja warga tidak mau.
Sampai akhirnya Savo meminjam sound, mic beserta perlengkapan lainnya untuk mengajak warga desa untuk mengatasi masalah itu. Dia dan Ndari berkeliling desa Sidodadi. “Ayo warga Desa Sidodadi, kita yang mempunyai desa ini berkewajiban memelihara dan merawatnya. Sekarang kita ketahui desa ini menjadi desa yang kumuh. Apakah anda rela gelar desa teladan yang telah kita punya dulu hilang begitu saja? Ayo semua kita bersama, bersatu untuk mewujudkan Desa Sidodadi menjadi desa teladan kembali. Biarkanlah pemimpin kita yang sudah acuh terhadap lingkungan. Biarkan dia! Yang penting kita pemilik desa ini mau bertindak. Ayo semuanya, siapa yang mau? Siapa yang mau?”
Banyak warga yang tertawa karena tindakan Savo itu. Ada yang mengejek dia. Ada yang diam. Tetapi ada juga yang sadar bahwa masalah desa perlu diatasi bersama, tetapi karena banyak yang tetap diam akhirnya mereka terbawa dan ikut diam.
Savo kecewa. Benar-benar kecewa. “Ndari kalau kau mau mengikuti mereka silahkan, aku tidak memaksa engkau. Tetapi aku tidak menyangka, putus asa mereka telah sebesar ini.” “Tidak Savo, aku akan mengikuti ajakanmu untuk mengatahi desa ini. Banyak suka dan duka sudah kita alami bersama. Setelah 5 tahun kita berpisah, kini saatnya kita ulangi kebersamaan kita. Kita berjuang bersama, kita buktikan kepada warga dan kepada Pak Samsudin bahwa kita bisa.”
Hanya Ndari saja yang mau mengikuti ajakan Savo. Setelah itu, mereka berdua mulai berjuang memulihkan Desa Sidodadi kembali seperti semula. Hasil belajar Savo selama ini tidak sia-sia. Ternyata dari hal yang mengecewakan tersebut, Savo dapat membantu desanya dengan ilmu yang didapat dari Australia.
Pertama mereka hanya membersihkan lingkungan yang paling kumuh. Rasa capek sedikit demi sedikit mulai terasa. Tetapi Ndari menemukan satu ide, “ Bagaimana kalau kita ajak anak-anak kecil di sekitar sini untuk membantu? Mereka pasti mau.” Akhirnya usaha Ndari berhasil. Sehingga mereka dibantu oleh beberapa anak kecil.
Masyarakat yang melihat hal itu, merasa ingin membantu. Keringat yang mengucur di tubuh Savo menggugah hati mereka. Sedikit demi sedikit dari mereka mulai membantu. Setelah itu, Savo berfikir untuk mengajak masyarakat yang lain kembali, mungkin dengan kesadaran sebagian masyarakat tersebut juga akan menyadarkan masyarakat yang lain. Savo mengajak mereka untuk berkeliling desa guna mengajak masyarakat yang lain. Hasilnya, banyak masyarakat yang mau mengikuti Savo.
Selama 3 hari, Desa Sidodadi melaksanakan kerja bakti, yang berupa bersih lingkungan, menanam tanaman hias, pemasangan lampu pada jalan yang gelap dan perbaikan jalan dengan swadaya sendiri. Savo mendapat banyak pujian dari masyarakat. Orang tua Savo dan Ndari bangga pada Savo, karena berhasil memulihkan desa tersebut, walaupun belum sepenuhnya kembali seperti dulu.
Sepulang Pak Samsudin dari liburan di Kota Batu, dia kaget melihat kondisi desa yang sedemikian rupa. Lalu dia memanggil salah seorang warga dan bertanya kepadanya, “Siapa yang menjadikan desaku ini menjadi sebersih ini. Lancang sekali dia melangkahi kekuasaanku.” “Ini semua hasil dari Savo yang mengajak masyarakat kerja bakti.” Akhirnya Savo dipanggil Pak Samsudin, disana Savo dihajar oleh Pak Samsudin karena dianggap melangkahi kekuasaannya. Ketika masyarakat mengetahui hal itu, bersama-sama mereka menuju rumah Pak Samsudin untuk memprotes tidakannya tersebut sekaligus mereka memintanya untuk mundur dari jabatan kepala desa. Tindakan masyarakat sungguh brutal, rumah Pak samsudin menjadi bulan-bulanan mereka begitu pula dengan mobil mobil yang dimilikinya. Saat itu pula, ternyata Savo masuk rumah sakit. Mendengar hal itu, Pak Samsudin sadar bahwa selama ini dia melakukan kesalahan yang besar pada desa itu. Dan saat itu pula, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan yang dia emban.
Savo tidak bisa melihat keputusan kepala desanya itu. Tetapi disana dia bersama Ndari turut bergembira akan keputusannya itu. Ini semua berkat jasa Savo juga Ndari yang telah mau diajak Savo memgembalikan kondisi desa tersebut.
Kamis, 13 Oktober 2011
Salib Berkisah Cinta
Salib putih cinta yang setia
Bintang-bintang tersenyum memanja
Seakan melindungi dengan kecerahannya
Tak akan terlepas putih hatiku
Salib berkisah cinta
Kerendakannya sedikitpun tak meracuni
Membekas di lubuk hati
Kisah kasih dan kesetiaan
Malu…
Akankah diri ini malu
Gambaran kekejihan menempelkan naungan
Pengorbanan cinta masuk dalam angkasa
Antara aku dan Engkau
Satu salib dan satu hati
Salib yang tenggelam di laut putih
Raga bukan, tetapi hati penuh kesegaran
CintaMu selama ini demi salib hidup
Terbang aku selalu bersama menangMu
Cinta hidupku selalu bernada
Salib berkisah cinta
Marianus Ivo M
Bintang-bintang tersenyum memanja
Seakan melindungi dengan kecerahannya
Tak akan terlepas putih hatiku
Salib berkisah cinta
Kerendakannya sedikitpun tak meracuni
Membekas di lubuk hati
Kisah kasih dan kesetiaan
Malu…
Akankah diri ini malu
Gambaran kekejihan menempelkan naungan
Pengorbanan cinta masuk dalam angkasa
Antara aku dan Engkau
Satu salib dan satu hati
Salib yang tenggelam di laut putih
Raga bukan, tetapi hati penuh kesegaran
CintaMu selama ini demi salib hidup
Terbang aku selalu bersama menangMu
Cinta hidupku selalu bernada
Salib berkisah cinta
Marianus Ivo M
Sabtu, 23 Juli 2011
Biografi
Santo Yohanes dari Salib; Seniman Bahasa Cinta
Oleh. Marianus Ivo M
Bumi melahirkan banyak manusia yang berjasa dalam bidang bahasa dan sastra. Dengan kerja keras, mereka dapat sukses dalam meraih impian. Lewat keberhasilan itu, mereka dapat menanam nama mereka di tanah subur, sehingga nama mereka dapat tetap berjaya di kalangan manusia. Bukan hanya nama mereka tetapi semua hasil karya mereka akan dikenang sepanjang masa. Salah satu nama yang masih terkenal sampai saat ini adalah Juan de Yepes atau Santo Yohanes dari Salib.
Berawal dari Cinta
dalam kesunyianlah ia membuat sarangnya:
dalam kesunyian itu ia dibimbing oleh Sang Kekasih sendiri,
hanya Dia, yang juga terluka cinta dalam kesunyian.
(Madah Rohani bait 35)
Yohanes dari Salib lahir dengan nama Juan de Yepes Alvares, di Fontiveros, Avila, Spanyol pada 24 Juni 1542. Ayahnya Gonzalo de Yepes adalah keturunan bangsawan, sedangkan ibunya Catalina Alvares seorang yang berasal dari keluarga miskin. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara.
Juan de Yepes tumbuh di tengah kemiskinan, sehingga dia terpaksa tinggal di asrama anak-anak yatim piatu. Walaupun demikian, dia tidak meninggalkan pendidikan. Masa sekolah dia jalani dengan semangat. Sambil sekolah dia bekerja sebagai penjahit, pelukis dan tukang kayu. Namun usaha-usaha itu tidak ada yang berhasil. Pengalaman-pengalaman pahit yang dialami tidak membuat Juan menjadi pribadi yang pesimis atau mudah menyerah. Sebaliknya, hati dan jiwanya menjadi lebih peka terhadap penderitaan sesama. Pengalaman-pengalaman itu menuntunnya untuk menjadi seorang perawat. Di rumah sakit “Neustra Senora de la Concepcion” di Medina, dia sempat bekerja sebagai perawat. Walaupun dia sudah bekerja, namun dia tidak meninggalkan pendidikan yang ditempuh.
Karena kepintarannya, dia dikirim ke universitas milik Jesuit untuk mendalami ilmu kemanusiaan. Disana Juan de Yepes juga sempat belajar tentang filsafat, teologi dan hidup rohani. Ketika menempuh pendidikan di universitas itu, dia bertumbuh menjadi seorang yang senang pada hidup doa dan kontemplasi, sehingga pada tahun 1563 dia masuk novisiat Karmel, dengan mengambil nama Yohanes.
Disana dia merasakan cinta Allah. Lewat puisi-puisi, dia mencurahkan pengalaman-pengalaman rohani yang telah dialami. Di novisiat Karmel dia tumbuh menjadi pribadi yang unggul dalam pendidikan sehingga dia dikirim ke Universitas Salamanca untuk belajar teologi. Pada tahun 1568 di universitas yang sama pula, dia menyelesaikan pendidikan tentang teologi. Pada tahun yang sama pula, Yohanes ditahbiskan menjadi imam Ordo Karmel. Namun setelah tahbisan, Yohanes terdorong untuk berpindah ke Ordo Cartusian karena merasa bahwa Karmel masih belum dapat membentuk dirinya menjadi pribadi yang hening. Tetapi setelah bertemu dengan suster Teresa Avila, dia mengubah angan-angannya dan lebih fokus untuk mengelola biara baru dengan suster Teresa, yang telah mendirikan biara pembaharuan kedua suster Karmel.
Akibat adanya kesalahpahaman dengan konfratres tentang pembaharuan itu, Yohanes disekap dalam bilik biara selama 9 bulan. Kejadian ini adalah awal keberhasilan Yohanes. Keheningan di bilik itu, membawa berkah bagi Yohanes. Suasana hening yang tercipta, membawa Yohanes pada cinta sejati bersama Allah. Dia benar-benar bersatu dengan Allah. Dia benar-benar jatuh cinta kepada Allah. Disana Yohanes mampu menggubah kidung-kidung dan puisi-puisi mistik serta memperoleh hikmat pengertian yang luar biasa dalam memahami ajaran Kristus. Puisi-puisi itu antara lain Malam Gelap, Sumber Air, dan Madah Rohani. Pengalaman rohaninya juga dituangkan dalam beberapa karya rohani bermutu tinggi, seperti Nyala Cinta yang Hidup, Mendaki Gunung Karmel, dan Madah Rohani. Setelah meringkuk selama 9 bulan, dia berhasil melarikan diri. Yohanes terbebas dan dia berhasil membawa Ordo Karmel tak berkasut terpisah dari Ordo Karmel. Selama beberapa tahun kemudian, Yohanes sempat menjadi pembibing biara Karmel tak berkasut.
Pada tanggal 14 Desember 1591 Yohanes wafat dengan tenang di Ubeda, dikerenakan dia sakit. Pada 27 Desember 1726 Paus Benediktus XIII menggelari santo, dan pada 24 Agustus 1926 Paus Pius XI mengangkatnya menjadi Pujangga Gereja.
Bahasa Cinta Allah
"Dalam bait ini jiwa mau menguraikan secara singkat,
bahwa ia telah berangkat pada malam hari,
tertarik oleh Allah dan terbakar oleh cinta kepada-Nya saja.”
(Mendaki Gunung Karmel I.1.4)
Semua karya Yohanes dari Salib adalah buah persatuan dengan Allah. Dia menulis karyanya setelah mengalami puncak persatuan dengan Allah. Dia memang benar-benar seniman cinta dan bahasa, dia sanggup menuangkan pengalaman cinta dalam karya-karya yang mengagumkan. Terlebih dia dapat menyimpulkan jalan yang harus ditempuh seseorang untuk mencapai cinta sejati. Ajaran yang diwartakan seolah-olah dilakukannya sambil mengidung, artinya dia melakukan itu karena terdorong oleh cinta.
Karyanya begitu mengagumkan. Sehingga buku-bukunya seperti Nyala Cinta yang Hidup, Mendaki Gunung Karmel, dan Madah Rohani telah diakui sebagai karya sastra tingkat dunia dan mengandung ajaran rohani tentang cinta yang sangat tinggi.
Bahasa yang digunakan Yohanes dari Salib lebih bersifat rohani dan bersifat mistik. Ungkapan-ungkapan mistik, melukiskan pertemuan indah antara manusia dengan Allah, sehingga sangat mudah menawan hati seseorang yang telah tersentuh oleh kasih Allah. Namun sering kali pembaca juga salah dalam memahami, khususnya bagi mereka yang membaca karya Yohanes dari Salib secara tidak lengkap, sehingga sering pula terjadi salah persepsi tentang karya itu.
Seluruh karya ditulis dengan perasaan penuh cinta, sehingga karyanya hanya dapat dimengerti dari segi cinta pula. Hal itu yang mempersulit pembaca dalam mengerti isi dan makna buku, terlebih bagi mereka yang belum merasakan/mengerti tentang cinta. Pengalaman cinta Santo Yohanes dari Salib begitu luhur, sehingga tidak mungkin diungkapkan dengan gagasan dan bahasa manusia asli. Tetapi dia lebih mengungkapkan lewat bahasa simbol dan lambang. Salah satu contoh adalah “malam gelap”. Pemakaian gambaran 'malam' untuk melukiskan pemurnian jiwa dalam usaha untuk bersatu dengan Allah. Dia tidak langsung menggunakan kata-kata yang manusiawi atau yang mudah dimengerti, tetapi dia menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan banyak tafsiran sehingga pembaca harus benar-benar memahaminya.
Sama seperti kutipan berikut yang diambil dari buku Madah Rohani, “Kemanakah Engkau bersembunyi, hai Kekasih, serta meninggalkan aku mengeluh dan mengaduh? Engkau lari bagaikan seekor rusa setelah melukai. Aku keluar memanggil-Mu, namun Engkau telah pergi.” Kutipan kecil itu begitu indah direnungkan, bahasanya yang digunakan mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pengarang yang lain. Tetapi bagi pembaca yang belum terbiasa membaca karya Santo Yohanes dari Salib, akan sangat lama dalam memahaminya.
Pada suatu malam yang gelap terbakar kerinduan cinta yang membara, ah, rahmat yang tak terperikan! Aku keluar tanpa diketahui, sedang rumahku sudah hening. Ada pula bahasa yang dibuat Santo Yohanes dari Salib dalam karyanya, lebih cenderung bersifat pribadi atau tidak formal seperti tulisan pada buku harian. Walaupun demikian, dia dapat merancang sedemikian rupa, sehingga bahasa yang sederhana berubah menjadi bahasa yang begitu indah. Kreatifitas bahasa sungguh ada di dalam jiwa Santo ini. Mempercantik kata-kata adalah keahliannya. Mengubah bahasa yang kurang menarik menjadi bahasa yang sangat menarik dan mengagumkan adalah jiwa kreatif yang dimiliki Santo Yohanes dari Salib.
Bagi Semua
Ternyata banyak buku psikologi yang mengutip karya-karya Santo Yohanes dari Salib ini. Entah apa yang diharapkan dari hal itu. Tetapi, psikolog mempunyai tujuan ingin menyadarkan manusia yang telah mengabaikan cinta dan pengalaman akan cinta. Sebab mereka percaya, dari karya-karyanya yang hanya dikutip sebagian kecil, banyak orang dapat merasakan arti dari cinta yang sesungguhnya dan tidak akan ada yang menganggap remeh cinta.
Begitu terkenal dan dikaguminya Santo Yohanes dari Salib, sehingga Jucques Maritain memberinya gelar doktor mistik. Bukan hanya itu saja, tetapi Henri Luis Bergson seorang filsuf dari Perancis menganggapnya sebagai filsuf.
Daftar Pustaka
1. Herwanta, Albert. 2010. Café Rohani edisi Mei 2010. Malang: Penerbit Karmelindo.
2. Deddy. 2010. Café Rohani “Santo Yohanes dari Salib”. Malang: Penerbit Karmelindo.
3. Teresa, Merry, H.Carm. 2010. Café Rohani edisi Mei 2010. Malang: Penerbit Karmelindo.
Sumber:
1. http:/www.santo yohanes dari salib.com
2. http:/www.carmelia.com
3. http:/www.nyala cinta yang hidup.com
4. http:/www.mendaki gunung karmel.com
5. http:/www.madah rohani.com
Riwayat Orang Kudus
Santo Ivo
Seorang yang pandai, tidak biasa untuk bersikap rendah hati. Seorang yang dapat bersikap rendah hati karena kepandaiannya, perlu disebut orang hebat. Seperti halnya Santo Ivo yang dengan hebat memadukan kepandaian serta kerendah hatiannya, sehingga dapat bersikap tegas terhahadap segala sesuatu, sampai akhirnya patut menjadi teladan semua pemimpin.
Santo ini tidak begitu terkenal dikalangan umat, walaupun demikian kita sebagai umat kristiani perlu mengintip sedikit saja tentang perjalanan hidupnya.
Ivo lahir di Beauvais pada tahun 1040. Ia belajar teologi di biara Bec serta dikenal sebagai orang pandai. Kemudian Ia bekerja di Nestle, Picardy, PerancisUtara lalu berpindah ke biara Santo Quentin. Di biara ini, Ivo mengajar teologi, hukum gereja dan kitab suci. Kemudian Ia diangkat sebagai pemimpin biara selama 14 tahun. Sebagai pemimpin biara, Ivo berusaha meningkatkan kedisiplinan hidup dan belajar, untuk para biarawan, serta berusaha membaharui aturan-aturan yang lama.
Karena kesalehan hidupnya, kepandaian dan kepribadiannnya yang menarik, Ivo diajukan oleh umat dan segenap imam untuk menggatikan Geoffrey sebagai uskup Chartres, pada tahun 1091. Setelah didesak oleh paus Urbanus II, Ivo menerima jabatan itu.
Dalam kepemimpinannya sebagai uskup Chartres, Ivo dengan tegas menentang raja Philip I yang menceraikan istrinya Bertha dan menikahi Bertrada, istri Fulk (seorang hakim dari Anjou). Oleh raja Philip I, Ivo ditangkap dan dipenjarakan. Seluruh kekayaan dan penghasilannya disita oleh raja Philip I. Tetapi atas desakan paus Urbanus II dan seluruh umat, Ivo dibebaskan dan menjalankan tugas seperti biasa. Selanjutnya, Ivo tetap setia kepada raja Philip dan berusaha mendamaikan raja dengan takhta suci pada konsili Beaugency pada tahun 1104. Ivo meninggal dunia pada tahun 1116.
Dalam kesempatan ini, kita umat Tuhan perlu meneladan Santo Ivo yang selalu mendahulukan kebenaran, walaupun itu nyawa sebagai taruhannya. Sikapnya yang tegas dalam hidup sebagai pemimpin yang bertanggung jawab sangat kita perlukan sebagai panutan dalam menjalankan segala tugas yang kita emban. Tidak lupa, yang perlu kita garis bawahi adalah kepintaran bukan sebagai ajang untuk 'gaya-gaya' tetapi perlu dibuktikan bahwa, dibalik kepintaran ada kesalehan dan cinta kasih.
Hidup : Eropa 1040-1116 Pesta : 20 Mei
Kisah ini ditulis oleh Marianus Ivo Meidinata.
Pada tahun 2010 di Seminari Santo Vincentius a Paulo, Garum, Blitar.
Langganan:
Postingan (Atom)